Senin, 17 November 2008

Bumi ku Menghangus

Bukan lelah ataupun enggan. Hanya saja serasa ada sesuatu yang entah bisa dikatakan hilang atau ku rindukan. Sesuatu itu memang seperti sekilas tak berarti, namun menjadi kunci dari aku yang ”linglung” bingung terus mengaung.

Jalanan tak lagi lenggang memang. Sibuk ribut memburu hari-hari yang sungguh cepat berlalu. Bukan lagi berkeliaran nanar, liar mencari celah sesempit apapun pasti tertemu. Bincang santai bincang bermaksud, bercampur maur seperti tahu campur. ”Bumi ini” menjadi lebih sibuk dari biasanya. Hal itu memang seperti itu, sudah terjadi semenjak ”hari itu”.

Pernah suatu ketika seorang laki paruh baya, tak jauh beda dengan ku bertanya, ”apa yang sedang kau lakukan akhir pekan ini?”. Pertanyaan yang tak kutahu arahnya. Seperti hanya berbasa-basi tak berarti. Tapi aku mencoba menjawabnya, ”yah, akhir pekan ini, aku harap aku bisa menikmatinya dengan ’santai’ bukan hanya sekedar ’santai’.” tidak terlihat seperti jawaban yang dia butuhkan sepertinya, terlihat dari ekspresi yang dia perlihatkan, alisnya yang tadinya lurus, sekarang mengerut bertaut seakan berkata ’apa maksud kalimat mu, santai bukan hanya sekedar santai?’. Sebentar dia menggumam, lalu berkata pelan dia pada ku, ”santai bukan di dapat, tapi di raih. Urusi saja semua hal yang merepotkan mu. Habisi saja semua hal yang menghambat mu. Sebelum akhir pekan habis tak tersisa di rebut orang – orang yang bersenda tertawa..” Lalu dia pergi, lenyap dalam barisan orang yang bertabrakan. Dan aku hanya bisa menghela nafas, seakan habis mendapat suatu berkah yang luar biasa menenangkan, ”heemm...memang terkadang sesuatu yang menurut ku tak berarti malah memberikan sesuatu yang diluar kata berarti..”

Sudah ku ketahui sebelumnya. Apa yang terjadi selanjutnya, jika aku benar terjun bebas. Tidak hanya remuk redam tulang organ ku. Sesuatu lebih dari itu, menyapa hangat namun pelan menusuk. Saat itu bulat tekad ku. Tak berpikir apapun selain maju. Hasilnya terperkirakan. Ya, aku memang ’slamat’. Dan sampai saat ini aku masih terus bertahan. Karena dataran ku masih ’datar’ masih ’lebar’. Tapi, apakah yang sebenarnya yang membuat ku sempat berpikir ”linglung” bingung terus mengaung? Yang mengakibatkan ’bumi ku menghangus’ menyisakan sesak yang terabaikan yang tak tersembuhkan.

Lalu apa?

Tidak ada komentar: